Kenapa Street Food Tour Jadi Favorit Wisatawan?
Wayah Sinau - Dari gang kecil di Yogyakarta hingga pinggir jalan di Bangkok, street food tour menjadi daya tarik wisata yang semakin populer di kalangan pelancong. Aktivitas sederhana seperti menyantap makanan kaki lima kini berubah menjadi pengalaman budaya yang autentik dan dicari banyak orang. Tapi, apa yang membuat wisata kuliner jalanan begitu diminati?
Lebih dari Sekadar Makan
Street food tour bukan hanya tentang makanan murah dan cepat saji. Ia telah berevolusi menjadi bagian penting dari perjalanan wisata, terutama bagi mereka yang ingin mengenal sisi asli suatu kota atau negara. Di balik seporsi sate, mie ayam, atau gorengan yang dijajakan di pinggir jalan, tersimpan kisah tentang masyarakat, sejarah, bahkan ekonomi lokal.
Banyak wisatawan menganggap kuliner jalanan sebagai jendela pertama untuk mengenal budaya. Melalui makanan, mereka bisa mencicipi identitas lokal dengan cara yang langsung, kasual, dan akrab. Street food menghadirkan pengalaman multisensori: rasa, aroma, suara penggorengan, hingga interaksi dengan penjual yang kadang penuh humor.
Murah, Lezat, dan Otentik
Salah satu daya tarik utama street food tour adalah harganya yang terjangkau. Dibandingkan dengan restoran bintang lima atau tempat makan modern, makanan kaki lima menawarkan pilihan yang ramah di kantong tapi tetap kaya rasa.
Tidak sedikit kuliner kaki lima yang justru menjadi ikon kota. Misalnya, lontong sayur pagi di Jakarta, sate klathak di Yogyakarta, atau nasi tempong di Banyuwangi. Makanan-makanan ini sering kali dimasak dengan resep turun-temurun, menggunakan teknik tradisional yang tak bisa dijumpai di restoran modern.
Tak heran, banyak wisatawan mancanegara justru menghindari restoran hotel demi mencicipi mie tek-tek, nasi goreng pinggir jalan, atau tahu gejrot langsung dari gerobaknya.
Pengalaman Lokal yang Tidak Bisa Diduplikasi
Street food tour memberikan pengalaman lokal yang orisinal. Wisatawan tidak hanya mencicipi makanan, tetapi juga menjelajahi sudut-sudut kota yang jarang disebut dalam brosur wisata. Mereka menyusuri gang kecil, berbaur dengan warga lokal, dan menyaksikan kehidupan malam kota secara langsung.
Interaksi dengan penjual menjadi nilai tambah. Para pedagang kaki lima biasanya ramah, terbuka, dan siap berbagi cerita. Tak jarang, cerita asal-usul makanan hingga tips cara menyantapnya dibagikan langsung dari mulut pertama yang membuatnya.
Tour semacam ini juga memberikan rasa kebebasan. Tidak ada aturan berpakaian, tidak ada protokol restoran. Wisatawan bisa memilih, mencoba, dan berjalan sesuka hati sambil menyesap kopi atau teh hangat.
![]() |
Street Food Tour Wisatawan(Sumber:Travel Kompas) |
Didorong oleh Media Sosial dan Generasi Muda
Popularitas street food tour juga tak lepas dari peran media sosial. Instagram, TikTok, dan YouTube penuh dengan konten food vlogging yang merekam momen saat wisatawan mencicipi makanan kaki lima dari berbagai negara.
Generasi muda, khususnya milenial dan Gen Z, dikenal lebih suka pengalaman otentik dibandingkan kemewahan. Mereka ingin merasakan “rasa lokal” yang sebenarnya dan membagikannya ke media sosial sebagai bagian dari perjalanan mereka.
Street food menawarkan visual yang menggoda: asap mengepul, tangan terampil yang mengaduk, dan warna-warni makanan yang instagramable. Semua itu menjadi daya tarik digital yang memperkuat daya jangkau kuliner jalanan.
Pilihan yang Ramah Lingkungan dan Komunitas
Tak banyak yang menyadari bahwa street food juga berkontribusi pada ekonomi mikro dan keberlanjutan komunitas. Setiap rupiah yang dibelanjakan di warung kaki lima langsung masuk ke tangan pengusaha kecil—bukan ke rantai bisnis besar.
Selain itu, banyak pedagang yang menggunakan bahan lokal dan teknik masak sederhana. Ini membuat street food lebih ramah lingkungan dibandingkan makanan berproses panjang dari restoran besar. Dalam skala kota, keberadaan kaki lima juga memperkuat ekonomi informal dan menciptakan lapangan kerja bagi banyak orang.
Beragam dan Tak Pernah Membosankan
Keberagaman menjadi daya tarik utama lain dari street food tour. Di satu lokasi, wisatawan bisa mencicipi berbagai menu dalam satu malam: dari makanan berat, kudapan manis, hingga minuman unik.
Setiap daerah memiliki kekhasannya sendiri. Di Malang, cilok bumbu kacang dan cwie mie jadi primadona. Di Bali, ada nasi jinggo dan laklak. Di Medan, wisatawan bisa mencicipi lemang, nasi gurih, hingga tekwan.
Street food selalu hidup, berkembang mengikuti selera zaman. Ada sentuhan fusion, ada menu baru yang viral, ada juga resep lama yang dibangkitkan kembali. Karena itulah, menjelajahi street food tak pernah terasa membosankan.
Tantangan dan Kesadaran Baru
Meski memiliki banyak kelebihan, street food tour bukan tanpa tantangan. Beberapa kekhawatiran umum muncul soal kebersihan, keamanan makanan, dan kenyamanan tempat duduk. Namun, semakin banyak pelaku usaha kaki lima yang sadar akan pentingnya kebersihan dan standar penyajian.
Pemerintah daerah juga mulai aktif mendukung, salah satunya dengan program sertifikasi pangan jalanan, penyediaan lokasi strategis, hingga promosi kuliner khas melalui festival dan aplikasi wisata resmi.
Dengan dukungan yang tepat, street food tour tak hanya aman dinikmati wisatawan, tapi juga berdaya tahan jangka panjang sebagai aset wisata budaya dan ekonomi.
Wisata Kuliner yang Membumi dan Berarti
Street food tour menjadi favorit wisatawan karena menawarkan lebih dari sekadar makanan. Ia memberi pengalaman, cerita, dan rasa lokal yang autentik. Murah, fleksibel, dan penuh kejutan, wisata kuliner kaki lima menjelma menjadi cara paling membumi untuk memahami budaya setempat.
Bagi banyak pelancong, kenangan akan sebuah kota tak hanya terikat pada bangunan megah atau spot wisata terkenal, tapi justru pada rasa nasi hangat dari gerobak kecil, obrolan santai dengan penjual, dan aroma gorengan yang tak terlupakan di tengah malam.
(Artikel ini ditulis oleh Jenia)