Jasa Digital Marketing UMKM

Jasa Press Release Portal Berita

Tugu Jogja: Simbol Abadi Persatuan, Jejak Sejarah, dan Filosofi Kota Pelajar

 

​Yogyakarta, kota budaya yang kaya akan sejarah dan filosofi, memiliki satu ikon yang tak terpisahkan: Tugu Jogja, atau yang juga dikenal dengan nama Tugu Pal Putih. Berdiri kokoh di perempatan Jalan Mangkubumi, Jalan Jenderal Sudirman, Jalan A.M. Sangaji, dan Jalan Diponegoro, tugu ini bukan sekadar penanda geografis, melainkan monumen hidup yang menyimpan kisah panjang perjuangan dan falsafah mendalam masyarakat Yogyakarta. Keberadaannya kini menjadi landmark utama dan titik nol bagi banyak wisatawan yang ingin menjelajah keindahan kota.

​Sejarah Tugu Jogja: Dari Golong Gilig Menuju Pal Putih

​Sejarah Tugu Jogja bermula pada tahun 1757, didirikan oleh Kraton Kasultanan Yogyakarta di bawah pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwana I, pendiri Kesultanan Yogyakarta. Tugu ini awalnya dikenal dengan nama Tugu Golong Gilig—sebuah nama yang langsung menggambarkan bentuknya yang simbolis.

​Tugu Golong Gilig: Manifestasi Manunggaling Kawula Gusti

​Bentuk awal Tugu Golong Gilig memiliki tinggi sekitar 25 meter. Struktur tugu ini secara eksplisit melambangkan filosofi luhur masyarakat Yogyakarta: Manunggaling Kawula Gusti—persatuan yang utuh antara rakyat dan pemimpin, serta keselarasan antara manusia dan Sang Pencipta.

  • Gilig: Bentuk silinder (tiang) tugu mewakili rakyat atau hamba (Kawula).
  • Golong: Bentuk bulat (bola) di puncak melambangkan penguasa atau Tuhan (Gusti).

​Semangat persatuan ini sangat kuat, terutama dalam melawan penjajah Belanda. Selain itu, Tugu Golong Gilig menjadi salah satu titik penting yang diletakkan pada garis lurus imajiner atau sumbu filosofi yang membentang dari Keraton ke Puncak Merapi, berjarak sekitar 2,5 kilometer dari keraton. Posisi ini mempertegas konsep kosmologi Jawa yang menempatkan raja, rakyat, dan alam semesta dalam satu kesatuan spiritual.

​Keruntuhan dan Intervensi Pemerintah Belanda

​Pada 10 Juni 1867, Yogyakarta dilanda gempa bumi dahsyat yang menyebabkan Tugu Golong Gilig patah menjadi tiga bagian. Selama beberapa tahun, tugu yang patah ini terbengkalai, seolah menggambarkan keretakan sementara dalam semangat persatuan.

​Pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII, muncul desakan untuk membangun kembali tugu tersebut. Pembangunan kembali ini akhirnya terwujud, namun dengan keterlibatan Pemerintah Belanda. Renovasi dilaksanakan oleh J.W.S. Van Brussels, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Dinas Pekerjaan Umum (Opzichten Van Waterstaat), dengan pihak Kraton Yogyakarta diwakilkan oleh Patih Danureja V sebagai pengawas.

​Transformasi Bentuk dan Penamaan De Witte Paal

​Tugu kemudian diresmikan oleh HB VII pada 3 Oktober 1889. Perubahan paling mencolok adalah bentuknya yang diubah total. Tugu silinder-bulat (Golong Gilig) dihilangkan dan diganti dengan bentuk segi empat meruncing. Ketinggian tugu juga dikurangi secara signifikan, menjadi sekitar 12 meter di atas permukaan tanah.

​Pemerintah Belanda lantas memberi nama baru, De Witte Paal (Tugu Putih) atau Tugu Pal Putih. Penamaan ini didasarkan pada fungsi tugu sebagai paal (tonggak) yang dicat putih. Namun, terdapat interpretasi bahwa perubahan bentuk dan nama oleh Belanda merupakan taktik untuk memecah persatuan antara raja dan rakyat. Meskipun demikian, upaya ini tidak berhasil; nilai filosofis persatuan tetap dipegang teguh oleh rakyat Yogyakarta.

​Arsitektur dan Filosofi Tugu Pal Putih Saat Ini

​Dilihat secara keseluruhan, bentuk Tugu Pal Putih yang sekarang terbagi menjadi tiga bagian utama, yang masing-masing sarat makna:

​1. Struktur Bangunan yang Simbolis

  • Bagian Atas: Berbentuk seperti mahkota dengan uliran meruncing ke atas, melambangkan perjalanan spiritual manusia menuju Sang Pencipta (sangkan paraning dumadi).
  • Bagian Tengah: Berbentuk segi empat dengan empat sisi yang memiliki inskripsi. Inskripsi ini ditulis dalam aksara Jawa dan prasasti, menunjukkan pihak-pihak yang terlibat dalam renovasi, menegaskan sejarahnya sebagai warisan kolonial yang diubah.
  • Bagian Bawah: Berupa tangga berjumlah empat sebagai pondasi yang kokoh.

​2. Nilai-Nilai Hiasan Jawa

​Tugu Pal Putih dihiasi berbagai ornamen yang sarat nilai-nilai simbolis Jawa, seperti keris Hasta Karya, panah, daun waru, daun loto, daun teratai, janget kinatelon, bentuk praba, bintang sudut enam, deretan titik (ceceg), wajik, dan bentuk tetes air (setiliran). Hiasan-hiasan ini memperkaya makna tugu sebagai tempat untuk mencapai keimanan dan ketakwaan yang sebenarnya, sebagaimana disematkan oleh Sri Sultan.

​3. Tugu sebagai Garis Imajiner Filosofi

​Tugu Jogja merupakan salah satu poros utama dalam garis imajiner yang menghubungkan Laut Selatan (Laut Hindia), Keraton Yogyakarta, dan Gunung Merapi. Garis ini adalah pengejawantahan konsep tata ruang yang memiliki makna filosofis mendalam tentang asal dan tujuan hidup manusia (mikrokosmos dan makrokosmos). Tugu menjadi Vomsimbol orientasi spiritual, mengingatkan masyarakat untuk selalu mengingat kebesaran Tuhan.

​Tugu Jogja: Warisan Budaya dan Daya Tarik Wisata

​Saat ini, Tugu Jogja berfungsi ganda: sebagai warisan budaya yang dilindungi dan sebagai ikon pariwisata yang ramai dikunjungi. Tugu ini tidak hanya menjadi landmark kota Yogyakarta yang dijadikan monumen penanda berdirinya Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat, tetapi juga sering menjadi titik awal atau akhir bagi wisatawan yang menyusuri kawasan legendaris Malioboro.

​Meskipun bentuknya telah mengalami transformasi signifikan di bawah campur tangan Pemerintah Belanda, Tugu Pal Putih tetap menjadi simbol kebanggaan dan persatuan. Ia terus berdiri, memadukan nilai sejarah perlawanan, filosofi spiritual, dan daya tarik modern, menjadikannya monumen yang abadi, memukau, dan penuh makna di jantung Kota Pelajar.


Referensi: Detik Com

Paket Outbound Perusahaan di Batu Malang