Jasa Digital Marketing UMKM

Jasa Press Release Portal Berita

Mengungkap Misteri Tugu Pal Putih: Sejarah, Simbol Persatuan, dan Jejak Kolonial di Jantung Yogyakarta

​Yogyakarta, kota yang karib disapa Jogja, terus memikat wisatawan dengan harmoni antara keindahan budaya, kekayaan sejarah, dan pesona alamnya. Di tengah hiruk pikuk kota, berdiri kokoh sebuah monumen berwarna putih yang telah menjadi ikon abadi: Tugu Jogja, atau dikenal juga sebagai Tugu Pal Putih.

​Tugu Jogja berada tepat di jantung kota, di perempatan Jalan Mangkubumi, Jalan Jenderal Soedirman, Jalan AM Sangaji, dan Jalan Diponegoro. Lebih dari sekadar penunjuk arah atau landmark kota, Tugu Jogja adalah saksi bisu perjalanan panjang sejarah, mulai dari zaman pendirian Kesultanan hingga masa-masa perjuangan melawan penjajahan Belanda. Kisah transformasinya dari Tugu Golong Gilig yang sarat makna filosofis menjadi bentuk yang kita lihat saat ini merupakan babak menarik dalam sejarah Yogyakarta.

​Tugu Golong Gilig: Lahir dari Semangat Persatuan (1755)

​Tugu Jogja pertama kali dibangun pada tahun 1755 oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I, atau Pangeran Mangkubumi, pendiri Kesultanan Yogyakarta. Monumen yang didirikan pada masa awal Kesultanan ini memiliki nama asli Tugu Golong Gilig.

​Makna Filosofis Manunggaling Kawula Gusti

​Pendirian Tugu Golong Gilig membawa nilai simbolis yang mendalam: Manunggaling Kawula Gusti. Filosofi ini menggambarkan semangat persatuan yang kuat antara rakyat (Kawula) dan penguasa (Gusti) untuk bersama-sama melawan penjajah Belanda.

  • Gilig: Bentuk tiang tugu yang silinder melambangkan rakyat.
  • Golong: Bentuk puncak tugu yang bulat melambangkan penguasa atau Tuhan.

​Tinggi total tugu pada masa itu mencapai 25 meter. Konsep "golong gilig" ini sendiri memiliki makna bersatu padunya kehendak, niat, karya, cipta, dan karsa, untuk mencapai satu tujuan yang sama, yaitu kemerdekaan dan kedaulatan.

​Komponen Vital Sumbu Filosofi

​Selain sebagai simbol persatuan, Tugu Golong Gilig juga merupakan salah satu bagian esensial dari garis imajiner yang bersifat magis. Garis lurus ini menghubungkan tiga entitas utama dalam kosmologi Jawa: Laut Selatan (selatan), Keraton Yogyakarta (tengah), dan Gunung Merapi (utara).

​Tugu yang berada di ujung utara garis ini berfungsi sebagai patokan arah spiritual. Sri Sultan Hamengkubuwono I menggunakan posisi Tugu Golong Gilig ini sebagai penanda arah saat beliau melakukan meditasi (sinawaka) dari Keraton, menghadap langsung ke puncak Gunung Merapi. Hal ini menegaskan perannya bukan hanya sebagai monumen fisik, tetapi juga sebagai pusat orientasi spiritual.

​Transformasi Tugu: Intervensi dan Hilangnya Simbolisme Awal (1867-1889)

​Keberadaan Tugu Golong Gilig sebagai simbol persatuan tidak berlangsung abadi dalam bentuk aslinya. Pada tahun 1867, Yogyakarta dilanda gempa bumi dahsyat yang menyebabkan tugu setinggi 25 meter itu roboh dan patah. Pilar tugu dilaporkan patah kurang lebih sepertiga bagiannya, merusak manifestasi fisik dari filosofi Manunggaling Kawula Gusti.

​Renovasi oleh Pemerintah Belanda

​Tugu yang roboh tersebut terbengkalai selama beberapa tahun. Baru pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII, tugu ini dibangun kembali. Sayangnya, proses renovasi ini berada di bawah kendali dan intervensi Pemerintah Belanda.

​Renovasi yang diprakarsai oleh Pemerintah Belanda mengubah bentuk tugu secara total. Bentuk silinder dan bola (Golong Gilig) dihilangkan dan diganti dengan desain segi empat meruncing. Selain perubahan bentuk, ketinggian tugu juga dikurangi secara drastis menjadi sekitar 12 hingga 15 meter dari tinggi semula 25 meter.

​Tugu Pal Putih: Strategi Kolonial yang Gagal

​Tugu yang baru diresmikan pada 3 Oktober 1889 ini kemudian dinamai De Witte Paal atau Tugu Pal Putih oleh Belanda. Penamaan ini didasarkan pada fungsi tugu sebagai paal (tonggak) yang dicat putih.

​Perubahan bentuk yang sangat berbeda dari pendahulunya—dari bentuk bulat yang melambangkan keutuhan menjadi bentuk segi empat yang meruncing—diinterpretasikan sebagai taktik kolonial Belanda untuk memecah makna persatuan antara raja dan rakyat. Tujuan Belanda adalah menghilangkan simbol yang secara eksplisit menggambarkan kekuatan dan kesatuan Yogyakarta.

​Meskipun demikian, niat Belanda untuk menghilangkan makna persatuan melalui perubahan bentuk bangunan ini tidak berhasil. Rakyat dan Keraton Yogyakarta tetap teguh memegang filosofi Manunggaling Kawula Gusti. Nilai persatuan dan kedaulatan yang pernah diwujudkan dalam Tugu Golong Gilig tetap hidup dan diwariskan dalam nilai-nilai budaya dan spiritual masyarakat Yogyakarta hingga kini.

​Tugu Jogja Kini: Ikon Sejarah dan Titik Nol Pariwisata

​Tugu Pal Putih yang sekarang menjadi penanda identitas kota. Bentuknya yang segi empat meruncing, dihiasi ornamen-ornamen Jawa seperti keris dan daun, serta prasasti di empat sisinya, telah menjadi warisan sejarah yang unik, memadukan jejak filosofi Jawa dengan sentuhan arsitektur kolonial.

​Sebagai landmark utama, Tugu Jogja tidak pernah sepi. Ia menjadi titik awal penjelajahan wisata, tempat favorit untuk berfoto, dan simbol nostalgia bagi setiap pengunjung. Keberadaannya di tengah sumbu filosofi Keraton tetap menjadikannya pusat orientasi, mengingatkan setiap orang bahwa Kota Yogyakarta bukan sekadar destinasi, tetapi sebuah perwujudan dari sejarah, spiritualitas, dan budaya yang mendalam. Tugu Jogja adalah monumen yang abadi, menyimpan cerita tentang bagaimana sebuah tiang dapat menjadi cerminan jiwa sebuah bangsa.


Referensi: Kompas Com

Paket Outbound Perusahaan di Batu Malang