Jasa Digital Marketing UMKM

Jasa Press Release Portal Berita

Tradisi Tato Sakral Suku Mentawai: Jejak Identitas Leluhur di Kulit

Tradisi Tato Sakral Suku Mentawai: Jejak Identitas Leluhur di Kulit
(Sumber: Okezone Travel)

Wayah Sinau Di tengah rimba lebat Pulau Siberut, Sumatera Barat, terdapat sebuah tradisi yang tak lekang oleh zaman. 

Bukan sekadar lukisan di atas kulit, tato Mentawai adalah warisan yang menyatu dengan jiwa, identitas, dan keyakinan hidup masyarakatnya.

Inilah tato sakral yang telah ada jauh sebelum tren modern menelannya sebagai gaya.


Tinta yang Menyimpan Makna: Apa, Siapa, dan Mengapa?

Tato Mentawai—dikenal dengan istilah titi oleh masyarakat setempat—bukanlah sekadar hiasan tubuh. 

Bagi suku Mentawai, tato adalah bagian dari jati diri, status sosial, dan keseimbangan antara manusia dan alam.

Tradisi ini diyakini sudah ada sejak ribuan tahun lalu, menjadikannya salah satu bentuk tato tertua di dunia. 

Biasanya, tato mulai diberikan sejak masa remaja, dan motifnya akan terus bertambah seiring pengalaman hidup.


Proses Sakral: Arang, Duri, dan Doa

Berbeda jauh dari studio tato modern yang berlampu terang dan steril, proses pembuatan titi dilakukan di rumah panggung beratapkan ijuk, dengan cahaya alami yang merembes masuk dari sela dinding bambu.

Tinta yang digunakan berasal dari arang yang dicampur air tebu. Sementara alat penusuknya berupa jarum dari duri atau paku kecil yang diikatkan pada sebatang kayu. 

Proses ini bisa memakan waktu berhari-hari, bahkan berminggu-minggu, tergantung luas motif yang dikerjakan.

Tradisi Tato Sakral Suku Mentawai: Jejak Identitas Leluhur di Kulit
Masyarakat Suku Mentawai (Sumber: SasarainaFM)

Filosofi dalam Setiap Goresan

Setiap motif tato di tubuh warga Mentawai punya makna khusus. Misalnya, motif ikan dan daun simbol hubungan manusia dengan hutan, sementara garis-garis di tangan dan kaki menunjukkan keahlian berburu atau meramu obat.

Tato juga dipercaya mengantar roh ke alam setelah kematian. Tanpa tato, orang Mentawai diyakini akan kehilangan arah di alam roh.


Di Antara Pelestarian dan Kepunahan

Meski sakral, tradisi ini kian tergerus. Anak-anak muda di Mentawai kini lebih mengenal tato dari Instagram ketimbang dari sikerei

Banyak dari mereka yang enggan menjalani proses panjang dan menyakitkan demi tato adat. Terlebih lagi, hanya segelintir sikerei yang masih menguasai teknik tradisional ini.

Beruntung, beberapa komunitas budaya dan LSM mulai turun tangan. Mereka mendokumentasikan proses titi, mengadakan pelatihan kepada generasi muda, hingga mengusulkan pengakuan UNESCO sebagai Warisan Budaya Takbenda.


Menyulam Masa Depan Lewat Kulit

Lebih dari sekadar tinta, titi adalah narasi hidup yang digoreskan pada kulit. Di tiap luka kecil, tersimpan sejarah, filosofi, dan penghormatan pada alam. 

Suku Mentawai mungkin terpencil di peta, tapi mereka punya sesuatu yang dunia modern sering lupakan: hidup selaras dengan identitas dan akar budaya.

Dan selama masih ada kulit yang bersedia ditoreh, selama itu pula cerita akan terus tertulis.


(Artikel ini ditulis oleh Arina)

Paket Outbound Perusahaan di Batu Malang