Toleransi dalam Budaya Indonesia: Mitos atau Realita?
Wayah Sinau- Benarkah Toleransi Sudah Menjadi Budaya Kita?
Setiap kali konflik atas nama agama atau etnis muncul, publik Indonesia sering menenangkan diri dengan satu kalimat: “Kita ini bangsa yang toleran.” Pernyataan tersebut terdengar menyejukkan. Namun benarkah toleransi telah menjadi bagian dari budaya kita, atau hanya semacam mitos kolektif yang terus diulang-ulang agar terdengar nyata?
Indonesia dikenal sebagai negeri multikultural—ribuan pulau, ratusan suku, enam agama resmi, dan berbagai kepercayaan lokal. Dalam narasi resmi, keberagaman itu dirayakan. Bhinneka Tunggal Ika dicetak di lambang negara, dan keberagaman menjadi bahan ajar wajib di sekolah-sekolah. Namun, ketika melihat ke realita sosial, banyak yang bertanya-tanya: toleransi seperti apa yang sebenarnya kita miliki?
Toleransi yang Diam-diam dan Bersyarat
Dalam praktiknya, masyarakat Indonesia sering menunjukkan apa yang disebut para ahli sebagai toleransi pasif. Artinya, minoritas diterima selama mereka tidak menuntut terlalu banyak ruang. Selama mereka “tidak mencolok”, keberadaan mereka dianggap wajar. Tapi ketika kelompok minoritas mulai berbicara soal hak, kesetaraan, atau representasi, respons masyarakat bisa berubah drastis.
Contoh nyatanya ada pada sulitnya pembangunan rumah ibadah bagi agama minoritas di sejumlah daerah. Menurut laporan Setara Institute (2023), masih banyak kasus di mana izin rumah ibadah ditolak bukan karena alasan hukum, tapi tekanan sosial. Ini menunjukkan bahwa meskipun konstitusi menjamin kebebasan beragama, budaya sosial belum sepenuhnya menginternalisasi nilai tersebut.
Multikulturalisme yang Bersifat Simbolik
Budaya toleransi kita juga kerap berhenti pada level simbol. Kita menyukai festival budaya, tari-tarian daerah, makanan khas tiap suku. Namun, penghargaan terhadap perbedaan sering kali bersifat folkloris: indah dilihat, tapi tidak selalu diterima sebagai bagian utuh dari kehidupan sosial.
Dalam iklan layanan masyarakat, keberagaman disimbolkan melalui pakaian adat atau parade budaya. Tapi di ruang-ruang publik, perbedaan keyakinan atau ekspresi justru sering dibatasi. Ketika suara-suara dari pinggiran diminta diam demi “ketertiban”, saat itulah kita melihat batas toleransi yang sebenarnya.
Budaya Toleransi: Masih Dalam Proses
![]() |
Budaya Toleransi (Sumber:Kompasiana) |
Toleransi sejati tidak hanya soal hidup berdampingan, tapi juga soal kesetaraan akses, pengakuan atas perbedaan, dan keberanian mendengar pandangan yang tidak nyaman. Dalam hal ini, budaya Indonesia masih berada di tahap pertumbuhan. Ada fondasi historis dan ideologis, tapi belum cukup kuat menopang praktik sosial yang adil.
Mengutip sosiolog Ariel Heryanto, toleransi kita cenderung reaktif—muncul saat krisis, lalu meredup saat situasi dianggap “normal”. Ini menandakan bahwa toleransi belum sepenuhnya menjadi bagian dari kesadaran kolektif, melainkan lebih kepada strategi jangka pendek demi menjaga harmoni permukaan.
Toleransi Bukan Mitos, Tapi Belum Sepenuhnya Nyata
Toleransi bukanlah warisan budaya yang otomatis tertanam dalam diri setiap warga negara. Ia perlu dibentuk, diajarkan, dan dipraktikkan secara sadar. Indonesia memang memiliki potensi menjadi bangsa yang toleran, tetapi jika hanya bergantung pada slogan dan simbolisme, potensi itu tidak akan berkembang menjadi kenyataan.
(Artikel ini ditulis oleh Jenia)