Sasi Laut: Tradisi yang Menjaga Lautan Maluku Tetap Bernyawa
Wayah Sinau - Di balik birunya laut Maluku, tersembunyi sebuah kearifan yang telah lama menyatu dengan denyut kehidupan masyarakat pesisir.
Namanya sasi, sebuah tradisi turun-temurun yang tak sekadar larangan mengambil hasil laut, tetapi juga cerminan dari filosofi hidup yang menempatkan alam sebagai bagian dari keluarga sendiri—dijaga, dihormati, dan tidak dieksploitasi.
Ketika Laut Harus Diistirahatkan
Sasi laut dikenal luas di berbagai wilayah Indonesia Timur seperti Maluku, Seram, dan Raja Ampat.
Namun esensinya satu: sebuah larangan sementara untuk mengambil hasil laut di suatu kawasan tertentu.
Waktu larangan ditentukan oleh kesepakatan adat, dan bisa berlangsung dari beberapa bulan hingga tahun.
Apa yang dilarang bisa beragam—kerang lola, teripang, ikan karang, hingga rumput laut.
Tujuannya pun bukan hanya soal pemulihan ekosistem, tetapi juga tentang menanamkan disiplin spiritual dan sosial pada komunitasnya.
Sasi menjadi ruang hening bagi laut, agar bisa pulih dari kelelahan panen yang terus-menerus.
Tradisi ini tidak dijalankan oleh aparat atau lembaga formal. Ia hidup dalam tatanan masyarakat adat, di mana tokoh agama, tua adat, dan perempuan memiliki peran sentral.
Khususnya di wilayah seperti Kapatcol dan Salio di Raja Ampat, perempuan dari kelompok gereja lokal justru menjadi penjaga utama sasi, memastikan tidak ada yang melanggar aturan selama masa larangan berlangsung.
Menjaga Laut dari Generasi ke Generasi
Sasi bukan hanya urusan ekologis, tapi juga sosial. Dalam masyarakat pesisir Maluku, sasi menumbuhkan rasa memiliki terhadap laut. Ketika sasi dibuka (disebut sebagai “buka sasi”), suasananya bukan sekadar panen raya—tetapi juga pesta budaya.
Ada tarian, doa bersama, dan pembagian hasil yang adil. Anak-anak ikut menyaksikan. Mereka belajar, sejak dini, bahwa laut bukan tempat yang bisa dikeruk seenaknya.
Efektivitas sasi terbukti. Banyak studi menyebutkan bahwa wilayah laut yang diberlakukan sasi menunjukkan regenerasi biota laut lebih baik.
Jumlah dan ukuran kerang, ikan, atau teripang meningkat. Bukan karena bantuan teknologi, melainkan karena masyarakat mematuhi waktu dan hukum alam.
![]() |
Penerapan Sasi Laut Di Pulau Lemon (Sumber: Jaring Nusa) |
Tantangan dan Harapan di Tengah Arus Zaman
Namun menjaga sasi bukan perkara mudah. Dunia berubah cepat. Ekonomi menekan, laut menjadi sumber pemasukan instan, dan anak muda mulai terpisah dari nilai-nilai adat.
Di beberapa tempat, sasi ditinggalkan karena dianggap menghambat produktivitas.
Ironisnya, ketika banyak pihak mulai membicarakan “perikanan berkelanjutan”, masyarakat adat justru telah mempraktikkannya sejak ratusan tahun lalu melalui sasi.
Kini, berbagai organisasi lingkungan dan lembaga konservasi mulai merangkul kembali nilai-nilai lokal ini.
Program revitalisasi sasi digaungkan, pelatihan dilakukan, bahkan teknologi mulai disesuaikan agar tidak menggerus akar kearifan itu.
Sasi Bukan Sekadar Tradisi, Tapi Jalan Hidup
Melestarikan sasi berarti menjaga hubungan yang utuh antara manusia dan alam. Tradisi ini bukan warisan usang, melainkan model manajemen sumber daya yang relevan di tengah krisis lingkungan saat ini.
Di Maluku dan wilayah sekitarnya, sasi terus dijaga, tak hanya oleh mereka yang tua, tapi juga oleh generasi muda yang mulai memahami bahwa melestarikan laut bukan sekadar pilihan, tetapi kebutuhan.
Sasi membuktikan, bahwa dalam keheningan, laut bisa tumbuh kembali. Dalam larangan, ada kehidupan yang dipulihkan. Dan dalam tradisi, tersimpan masa depan.