Ritual Kasada: Menghormati Dewa Gunung Lewat Pengorbanan
![]() |
(Sumber: Mongabay) |
Wayah Sinau - Setiap tahun, di puncak dingin Gunung Bromo yang berkabut, suara gamelan dan doa menyatu dengan gemuruh kawah.
Di sanalah, suku Tengger mempersembahkan hasil bumi dan ternak dalam sebuah ritual sakral bernama Kasada—ungkapan syukur sekaligus permohonan kepada Sang Hyang Widhi.
Jejak Keyakinan di Lereng Gunung
Ritual Yadnya Kasada dilangsungkan oleh masyarakat Tengger yang mendiami kawasan sekitar Gunung Bromo, Jawa Timur.
Upacara ini biasa digelar pada hari ke-14 bulan Kasada menurut penanggalan Jawa Tengger, yang biasanya jatuh sekitar Juli atau Agustus.
Selama prosesi, warga membawa sesajen berupa hasil panen, makanan, bahkan hewan ternak, untuk dilemparkan ke dalam kawah Bromo sebagai wujud penghormatan kepada para dewa gunung.
Legenda di Balik Ritual
Asal muasal ritual Kasada tak lepas dari legenda pasangan Roro Anteng dan Joko Seger, leluhur masyarakat Tengger.
Konon, setelah bertapa memohon keturunan, mereka diberi anugerah 25 anak oleh Sang Hyang Widhi, dengan syarat anak terakhir harus dikorbankan ke kawah.
Saat waktunya tiba, Raden Kusuma, si anak ke-25, rela mengorbankan diri demi menjaga janji orang tuanya.
Sebelum lenyap di kawah, ia berpesan agar keturunannya rutin mengadakan upacara persembahan. Sejak itulah, tradisi Kasada diwariskan lintas generasi.
![]() |
Ritual Kasada Di Bromo (Sumber: Kelanaria) |
Dari Malam Doa hingga Lontaran Sesajen
Prosesi Kasada dimulai malam hari di Pura Luhur Poten, tempat ibadah umat Hindu Tengger yang berada tepat di lautan pasir kaki Gunung Bromo.
Upacara dimulai dengan pembacaan mantra, doa, dan pergelaran seni budaya. Setelah itu, iring-iringan warga membawa sesaji menuju puncak kawah Bromo.
Di sanalah, satu per satu sesajen dilemparkan ke kawah, meski tidak sedikit pula warga setempat yang ‘menyambutnya’ dari lereng, berharap mendapatkan berkah dari sesaji yang dilempar.
Warisan Budaya yang Terus Menyala
Di balik aroma kemenyan dan suara gamelan yang menggema di kegelapan pagi, Kasada mencerminkan kuatnya nilai keseimbangan antara manusia, alam, dan spiritualitas.
Di sisi lain, Kasada juga menjadi magnet pariwisata budaya. Ribuan wisatawan domestik maupun mancanegara berdatangan setiap tahunnya, menyaksikan langsung ritual unik yang jarang ditemukan di tempat lain.
Pemerintah Kabupaten Probolinggo pun rutin memfasilitasi penyelenggaraan agar tetap sakral namun juga bisa diakses publik luas.
Menjaga Nyala Tradisi
Dalam dunia yang semakin cepat berubah, Kasada tetap berdiri teguh di kaki Bromo. Lebih dari sekadar upacara, ia adalah napas kolektif masyarakat Tengger, pengingat akan janji, pengorbanan, dan hubungan spiritual yang melampaui zaman.
Jika Indonesia ingin terus merayakan keberagaman budayanya, maka ritual seperti Kasada bukan hanya perlu dipertontonkan—tetapi juga dijaga, dihargai, dan diwariskan.