Jasa Digital Marketing UMKM

Jasa Press Release Portal Berita

Lengger Lanang: Ketika Lelaki Menari dengan Lembut

Lengger Lanang: Ketika Lelaki Menari dengan Lembut
(Sumber: Info Purwokerto)

Wayah Sinau - Di tengah sorotan lampu seadanya dan iringan gamelan yang menghentak perlahan, seorang lelaki muncul dengan gerak gemulai. 

Matanya lentik, langkahnya ringan, dan lenggok tubuhnya begitu halus—menembus batas stereotip tentang maskulinitas. 

Ia bukan perempuan. Ia adalah penari Lengger Lanang, penjaga warisan Banyumas yang menari bukan hanya dengan tubuh, tapi juga dengan hati.


Tarian Lintas Batas yang Lahir dari Rakyat

Lengger Lanang bukan sekadar pertunjukan tari. Ia adalah tradisi panjang masyarakat Banyumas yang hingga kini tetap hidup meski zaman terus bergulir. 

Tarian ini telah ada sejak ratusan tahun lalu, dipercaya lahir sebagai bagian dari strategi penyebaran agama Islam oleh Sunan Kalijaga.

Kala itu, rakyat lebih tertarik mendekati panggung hiburan ketimbang ceramah. Maka seni pun dipeluk sebagai jembatan dakwah—dan lahirlah Lengger.

Siapa penarinya? Pria. Tapi tak sembarang pria. Mereka tampil mengenakan kebaya, sanggul, dan riasan wajah. Geraknya pun menyerupai penari perempuan: lemah lembut, ritmis, penuh kendali. 

Di sinilah keunikan Lengger Lanang—seni yang secara sadar menabrak batas-batas konvensional antara maskulin dan feminin, namun tetap diterima dan dihormati sebagai bagian dari budaya.


Lengger Lanang: Ketika Lelaki Menari dengan Lembut
Tari Lengger Lanang, Banyumas (Sumber: Wikipedia)

Menari dengan Hati, Menyuarakan Jiwa

Ritual penampilan Lengger biasanya hadir dalam momen sedekah bumi, hajatan, atau festival budaya. 

Musik gamelan mengiringi setiap gerakan. Kadang, alunan gendhing Jawa terdengar pelan dan lirih, membuat atmosfer menjadi syahdu. 

Para penonton—baik tua maupun muda—menyimak dalam diam, seolah menyatu dalam tiap hentakan kaki sang penari.

Tarian ini tidak hanya menghibur. Ia menyimpan pesan simbolik: bahwa manusia adalah makhluk yang kompleks, dan seni menjadi ruang di mana semua ekspresi bisa diterima.

Seni, Gender, dan Daya Hidup Sebuah Tradisi

Budayawan menyebut Lengger Lanang sebagai bentuk perlawanan halus terhadap patriarki

Tari ini adalah pengakuan budaya terhadap fluiditas gender, bahkan sejak dulu. Ia bukan ‘baru’. Ia sudah ada sejak nenek moyang kita.

Namun perjalanan Lengger Lanang tidak selalu mulus. Seringkali, masyarakat luar menganggap pertunjukan ini “nyeleneh” atau “melanggar norma”. 

Tidak sedikit pula penari yang mengalami cibiran hingga diskriminasi. Tapi di balik tantangan itu, semangat untuk melestarikan tetap menyala.

Kalau bukan kita yang melanjutkan, siapa lagi? Anak muda sekarang harus tahu, ini warisan kita. Ini bukan soal jadi laki-laki atau perempuan, tapi soal jadi manusia yang jujur dengan ekspresinya.


Menjaga Gerak, Menjaga Warisan

Di tengah gempuran budaya modern dan hiburan digital, Lengger Lanang masih berdiri

Ia bukan hanya soal menari. Ia adalah tentang melawan lupa, tentang mengenal siapa diri kita, dan tentang bagaimana seni mampu menyatukan keberagaman yang sering kali sulit dipahami logika sosial.

Malam semakin larut di panggung sederhana itu, tapi gerak lembut penari Lengger Lanang terus menari di hati mereka yang menyaksikan.


(Artikel ini ditulis oleh Arina)
Paket Outbound Perusahaan di Batu Malang