Krisis Moral Pelajar Indonesia, Siapa yang Bertanggung Jawab?
Wayah Sinau - Kekerasan di sekolah, konten vulgar dari pelajar, dan minimnya etika di ruang digital—semua menandai satu pertanyaan besar: di mana moral pelajar kita hari ini?
Moral Pelajar Kian Memudar: Alarm bagi Masa Depan Bangsa
Beberapa waktu terakhir, masyarakat Indonesia diguncang oleh berbagai tindakan tak terpuji yang dilakukan oleh pelajar.
Dari aksi bullying brutal di lingkungan sekolah, penyebaran konten asusila oleh siswa berseragam, hingga kekerasan verbal di media sosial—semuanya menjadi bukti nyata bahwa terjadi krisis moral yang tak bisa lagi diabaikan.
Fakta ini tak hanya memunculkan keprihatinan, tetapi juga menggugah pertanyaan mendasar: siapa yang bertanggung jawab atas semua ini?
Apakah sekolah gagal menanamkan nilai? Apakah keluarga telah kehilangan kendali?
Atau justru masyarakat dan negara turut andil karena abai dalam menciptakan ekosistem moral yang sehat?
Moralitas yang Kian Terkikis di Ruang Sekolah dan Digital
Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan bahwa sepanjang 2023 terdapat lebih dari 2.300 kasus pelanggaran etik dan kekerasan yang melibatkan peserta didik, baik sebagai korban maupun pelaku.
Sementara itu, di ranah digital, laporan dari Kominfo menunjukkan adanya peningkatan drastis konten tidak pantas yang dibuat dan dibagikan oleh pelajar, terutama di platform video pendek seperti TikTok.

Bullying Anak Sekolah (Sumber: Unsplash)
Tanggung Jawab Siapa?

Fenomena ini tentu tidak lahir dari ruang hampa. Ada banyak aktor yang memiliki peran, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Keluarga, sebagai institusi pertama tempat anak dibentuk, memiliki tanggung jawab awal dalam membentuk karakter.
Orang tua yang sibuk, minim interaksi, atau bersikap permisif terhadap perilaku anak secara tidak sadar ikut melemahkan fondasi moral si anak.
Di sisi lain, lembaga pendidikan juga tak bisa lepas dari sorotan. Pendidikan hari ini masih cenderung menekankan pencapaian nilai, ranking, dan kelulusan, namun melupakan aspek pendidikan nilai, empati, dan moral.
Sementara itu, media massa dan media sosial telah menjadi guru baru bagi anak-anak muda.
Sayangnya, banyak dari mereka belajar dari sumber yang salah—konten viral yang sering kali mengedepankan kekerasan verbal, budaya pamer, atau candaan seksual.
Ketika role model di layar dipenuhi selebritas yang bebas norma, anak muda pun kehilangan arah.
Tak kalah penting adalah peran negara dan kebijakan pendidikan nasional.
Banyak program pendidikan karakter seperti Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) tidak berjalan optimal karena tumpang tindih kurikulum dan kurangnya pendampingan berkelanjutan.
Refleksi Kolektif untuk Masa Depan Generasi
Krisis moral di kalangan pelajar bukan sekadar persoalan remaja nakal atau anak kurang ajar.
Ini adalah cerminan sistem yang sedang pincang. Kita sedang menuai hasil dari pendidikan yang abai pada akar kemanusiaan, dari masyarakat yang terlalu sibuk dengan pencitraan, dan dari institusi yang kehilangan daya.
Sudah waktunya kita mengakui bahwa pembangunan karakter adalah urusan bersama.
Tak cukup menyalahkan pelajar, kita perlu bertanya: sudahkah kita memberi contoh yang layak?
Jika pendidikan hari ini hanya membentuk siswa pintar, tapi miskin empati, maka kita tengah membangun masa depan yang kering nilai.
Dan bila itu terjadi, pertanyaan “siapa yang bertanggung jawab?” akan kembali ditujukan kepada kita semua—sebagai orang tua, pendidik, dan warga bangsa.
(Artikel ini ditulis oleh Arina)