Jasa Digital Marketing UMKM

Jasa Press Release Portal Berita

Kesehatan Mental di Dunia Pendidikan: Isu Bullying dari Siswa Maupun Guru

Kesehatan Mental di Dunia Pendidikan: Isu Bullying dari Siswa Maupun Guru
(Sumber: Unsplash)

Wayah Sinau - Ketika Sekolah Tak Lagi Menjadi Ruang Aman: Siapa yang Melindungi Kesehatan Mental Guru dan Murid?


Potret Suram di Balik Dinding Kelas

Dalam beberapa tahun terakhir, wacana mengenai kesehatan mental di dunia pendidikan semakin sering muncul ke permukaan. 

Sayangnya, isu ini kerap dikaitkan dengan tekanan akademik semata, padahal realitas di lapangan jauh lebih kompleks. 

Bullying, baik yang dilakukan oleh sesama siswa maupun dari guru kepada murid (dan sebaliknya), menjadi luka tersembunyi yang merongrong kesehatan mental para pelaku pendidikan dari dalam.

Kapan terakhir kali kita mendengar kisah siswa yang mengalami tekanan mental karena dimarahi guru di depan kelas? 

Atau sebaliknya, guru yang kehilangan semangat mengajar karena sering dihina, diabaikan, bahkan dipermalukan oleh murid? 

Ini bukan sekadar kasus per kasus, tapi gejala sistemik yang menunjukkan bahwa sekolah, dalam banyak hal, belum sepenuhnya menjadi ruang aman untuk semua pihak.


Data dan Fakta: Kekerasan Psikis Tak Lagi Tersembunyi

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat bahwa sepanjang tahun 2023, terdapat lebih dari 1.800 laporan bullying di lingkungan sekolah yang mencakup kekerasan verbal, intimidasi emosional, hingga penghinaan di ruang kelas maupun media sosial. 

Fenomena ini tak lagi tersembunyi. Di media sosial, kita bisa dengan mudah menemukan video siswa yang membentak guru, atau sebaliknya, guru yang melontarkan kata-kata kasar kepada siswa. 

Sayangnya, banyak dari kasus tersebut berakhir tanpa penyelesaian tuntas karena dianggap “masalah internal sekolah” atau “wajar dalam proses pendidikan.”


Kesehatan Mental di Dunia Pendidikan: Isu Bullying dari Siswa Maupun Guru
Kesehatan Mental (Sumber: Unsplash)

Ketimpangan Relasi Kuasa dan Minimnya Literasi Emosi

Menurut salah satu psikolog pendidikan dari Indonesia, praktik bullying di dunia pendidikan sering berakar pada ketimpangan relasi kuasa yang tidak diimbangi oleh pemahaman emosional. 

Guru memiliki otoritas, sementara siswa sering tidak memiliki ruang untuk menyuarakan perasaan mereka. 

Di sisi lain, siswa masa kini juga lebih kritis, namun minim etika komunikasi dan empati digital.

Guru adalah manusia yang bisa lelah. Siswa adalah individu yang bisa terluka. Tapi sistem pendidikan kita jarang membicarakan keduanya. 

kesehatan mental belum menjadi indikator keberhasilan pendidikan, padahal inilah fondasi dari proses belajar yang sesungguhnya.

Dalam banyak kasus, bullying terjadi bukan karena niat jahat, melainkan karena tidak adanya mekanisme komunikasi yang sehat dan budaya refleksi yang rendah.

Banyak sekolah belum memiliki sistem pendampingan psikologis yang memadai, atau hanya fokus pada sanksi ketimbang pemulihan relasi sosial.


Menuju Ekosistem Pendidikan yang Sehat Mental

Penting untuk diakui bahwa sekolah bukan hanya tempat transfer ilmu, tetapi ruang sosial tempat manusia bertumbuh. 

Maka, menciptakan iklim yang kondusif secara emosional harus menjadi bagian dari prioritas pembangunan pendidikan nasional.

Beberapa sekolah telah mencoba menerapkan program “Sekolah Ramah Anak” dan “Literasi Emosi,” namun implementasinya belum merata. 

Bahkan, dalam beberapa kasus, guru-guru tidak mendapatkan pelatihan memadai dalam menangani konflik emosional antar siswa, atau dalam membangun komunikasi non-verbal yang mendukung.

Langkah-langkah seperti ini menjadi penting untuk mengembalikan esensi pendidikan sebagai ruang tumbuh, bukan ruang takut.

Menyadari, Mengakui, dan Memulihkan

Dalam membicarakan kesehatan mental di dunia pendidikan, kita tidak bisa lagi berhenti pada slogan. 

Isu bullying—baik dari siswa maupun guru—harus ditangani dengan pendekatan yang komprehensif, humanis, dan reflektif. 

Sekolah bukan tempat untuk menyalurkan frustrasi, bukan juga ajang unjuk kuasa. Ia harus menjadi rumah yang aman bagi semua.

Jika hari ini siswa takut ke sekolah, atau guru kehilangan semangat mengajar, maka kita harus berhenti dan bertanya: apa yang salah dalam sistem kita?

Pendidikan tidak akan pernah benar-benar berhasil jika yang kita hasilkan hanya angka-angka dan ijazah, tetapi kehilangan manusia di dalam prosesnya. 

Kesehatan mental bukanlah isu pinggiran, ia adalah kunci dari segala proses belajar yang bermakna.


(Artikel ini ditulis oleh Arina)
Paket Outbound Perusahaan di Batu Malang