Indonesia, Negeri Maritim dan Agraris: Apa Makna dan Tantangannya?
![]() |
Namun, di balik istilah yang terdengar membanggakan itu, muncul satu pertanyaan penting: apakah potensi ini benar-benar berdampak bagi kesejahteraan rakyat, terutama mereka yang menggantungkan hidup pada laut dan ladang?
Bukan Sekadar Label: Data yang Menguatkan Identitas
Secara geografis, Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, terdiri dari lebih dari 17.000 pulau dan garis pantai sepanjang 99.000 kilometer.
Luas laut Indonesia mencapai sekitar 3,25 juta km², jauh lebih besar daripada daratannya yang hanya sekitar 1,9 juta km².
Fakta ini menempatkan Indonesia dalam jajaran negara dengan kawasan laut terluas di dunia—modal besar untuk menjadi kekuatan maritim global.
Di sisi lain, lebih dari 29% tenaga kerja Indonesia masih berada di sektor pertanian, perkebunan, dan kehutanan, menurut data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS).
Komoditas seperti padi, jagung, kelapa sawit, karet, kopi, dan kakao menjadi andalan ekspor dan konsumsi nasional. Tidak berlebihan jika banyak kalangan menyebut Indonesia sebagai lumbung pangan tropis dunia.
Namun, fakta-fakta ini kerap hanya muncul sebagai narasi simbolik dalam pidato resmi atau materi promosi pariwisata. Realitas di lapangan menunjukkan tantangan yang tidak sedikit.
Di Balik Kemegahan Alam, Ada Masalah Struktural yang Kronis
Meskipun potensinya luar biasa, petani dan nelayan Indonesia masih berada dalam kelompok masyarakat dengan tingkat kesejahteraan terendah. Mengapa ini bisa terjadi? Setidaknya ada tiga akar masalah utama yang terus membayangi:
1. Infrastruktur dan Akses Pasar yang Tidak Merata
Masih banyak wilayah penghasil komoditas unggulan—baik hasil laut maupun pertanian—yang terisolasi secara infrastruktur.
Jalan rusak, pelabuhan kecil tak layak, hingga akses logistik yang mahal membuat harga jual produk menjadi tidak kompetitif.
Misalnya, petani di pedalaman Kalimantan atau nelayan di Nusa Tenggara sering kali mengalami kerugian karena biaya distribusi melebihi harga pasar.
2. Keterbatasan Teknologi dan Modernisasi
Sebagian besar petani dan nelayan masih menggunakan alat tradisional. Produktivitas rendah, efisiensi buruk, dan kualitas hasil panen atau tangkapan yang tidak seragam membuat mereka kalah bersaing di pasar global.
Meskipun ada upaya pemerintah dalam menyediakan alat mesin pertanian (alsintan) dan kapal nelayan modern, distribusinya sering kali tidak merata atau tidak tepat guna.
3. Harga Tak Menentu dan Minimnya Perlindungan
Fluktuasi harga merupakan momok besar bagi petani dan nelayan. Tanpa sistem perlindungan harga minimum atau skema asuransi yang kuat, mereka harus menanggung kerugian saat harga jatuh.
Subsidi pupuk yang tidak tepat sasaran dan mekanisme tengkulak yang masih dominan memperburuk kondisi ekonomi mereka.
Sejumlah program seperti Kartu Tani, subsidi pupuk, dan bantuan kapal nelayan memang telah dijalankan.
Namun, implementasinya di banyak daerah masih mengalami hambatan: mulai dari verifikasi yang lambat, kurangnya literasi digital penerima manfaat, hingga praktik penyimpangan di tingkat lokal.

Petani Indonesia (Sumber: Unsplash)
Sudah Saatnya Petani dan Nelayan Jadi Pusat Kebijakan

Indonesia harus berhenti memandang petani dan nelayan sebagai objek pembangunan. Mereka adalah subjek utama yang memegang kunci ketahanan pangan dan kedaulatan maritim.
Kebijakan yang dibuat seharusnya berbasis kebutuhan nyata di lapangan, bukan hanya sekadar janji kampanye atau target statistik.
Transformasi Agrikultur dan Kelautan: Dari Potensi ke Aksi
Transformasi Indonesia sebagai negara agraris dan maritim sejati menuntut perubahan paradigma besar. Beberapa langkah kunci yang bisa diambil antara lain:
Revitalisasi infrastruktur konektivitas desa-pantai-pasar.
Digitalisasi sistem pertanian dan perikanan, termasuk penggunaan drone, IoT, dan e-commerce desa.
Perbaikan tata kelola subsidi dan bantuan, berbasis data real-time dan transparansi.
Penguatan koperasi petani dan nelayan, agar posisi tawar meningkat dan ketergantungan pada tengkulak berkurang.
Pendidikan vokasi dan pelatihan berkelanjutan, khusus untuk sektor agrikultur dan maritim.
Menjadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri
Label “negara agraris dan maritim” harus lebih dari sekadar jargon geografis atau kebanggaan masa lalu. Ini adalah identitas nasional yang seharusnya menjadi pondasi masa depan Indonesia.
Jika pengelolaan sektor ini dilakukan dengan benar, bukan tidak mungkin Indonesia bisa menjadi pusat pangan tropis dan kekuatan maritim dunia.
Tapi lebih dari itu, yang paling penting adalah memastikan bahwa petani dan nelayan—sebagai ujung tombak peradaban bangsa—benar-benar menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
(Artikel ini ditulis oleh Arina)