Jasa Digital Marketing UMKM

Jasa Press Release Portal Berita

Hidup Suku Togutil di Pedalaman Halmahera: Menjaga Tradisi Budaya

Hidup Suku Togutil di Pedalaman Halmahera: Menjaga Tradisi Budaya
(Sumber: Suka Jalan)

Wayah SinauTersembunyi di balik lebatnya hutan Halmahera Timur, hidup sebuah komunitas yang memilih tinggal jauh dari hiruk pikuk modernitas. 

Mereka dikenal sebagai Suku Togutil — kelompok adat yang hingga kini mempertahankan hidup nomaden dan menyatu dengan alam. 

Siapa mereka sebenarnya, dan bagaimana mereka bertahan di tengah gempuran dunia luar?


Hidup Terpisah, Tapi Tidak Terlupakan

Suku Togutil, juga dikenal dengan sebutan O’Hongana Manyawa, adalah kelompok masyarakat adat yang tinggal di kawasan hutan pedalaman Halmahera, Maluku Utara. 

Nama O’Hongana Manyawa sendiri berarti “orang yang tinggal di dalam hutan,” sesuai dengan kehidupan mereka yang sangat tergantung pada alam.

Mereka termasuk dalam komunitas nomaden, berpindah dari satu tempat ke tempat lain untuk berburu, meramu, dan bertahan hidup. 

Berbeda dengan masyarakat desa yang telah menetap dan mengenal pertanian secara intensif, Togutil masih menggantungkan hidup pada hutan sebagai sumber pangan dan tempat perlindungan.


Antara Kepercayaan Leluhur dan Alam Sekitar

Dalam keseharian, suku Togutil tidak hanya menyatu dengan alam secara fisik, tetapi juga spiritual. 

Mereka percaya pada kekuatan roh leluhur dan makhluk halus yang menghuni pepohonan, gua, dan sungai. 

Kepercayaan ini membuat mereka menjaga hutan dengan penuh rasa hormat.

Bahasa yang digunakan oleh suku Togutil masih berkaitan dengan rumpun bahasa Tobelo-Galela, namun dengan dialek yang sangat berbeda. 

Tidak semua bisa memahami, karena bahasa ini hanya diwariskan secara lisan antar generasi.

Hidup Suku Togutil di Pedalaman Halmahera: Menjaga Tradisi Budaya
Suku Togutil Ke Tambang Halmahera (Sumber: Kompas)

Antara Penasaran Dunia Luar dan Tekanan Pembangunan

Meski sering disebut sebagai “suku terasing”, kenyataannya keberadaan Togutil sudah lama diketahui oleh dunia luar. 

Namun, mereka menolak untuk sepenuhnya bergabung dengan sistem masyarakat modern. Pilihan itu bukan tanpa alasan.

Dalam beberapa tahun terakhir, ancaman pembukaan lahan tambang dan ekspansi industri mulai menyentuh wilayah yang selama ini menjadi tempat hidup mereka. 

Beberapa kelompok Togutil terpaksa pindah atau hidup lebih dalam ke hutan akibat aktivitas manusia yang merusak keseimbangan lingkungan.

Sebagian dari mereka sudah mulai terbuka terhadap pendidikan dan bantuan medis, namun tetap dengan batas-batas yang mereka tetapkan sendiri. 

Hal ini menandakan adanya kesadaran selektif, bukan penolakan mutlak terhadap perubahan.


Pelestarian atau Eksploitasi?

Berbagai pihak, termasuk LSM dan pemerintah daerah, telah mencoba menjalin pendekatan yang lebih etis terhadap komunitas Togutil. 

Pendekatan ini dilakukan melalui dialog budaya, pemetaan wilayah adat, hingga penyediaan ruang belajar tanpa memaksa mereka melepaskan jati diri.

Namun, tidak sedikit pula oknum yang menggunakan nama “pelestarian” untuk mengambil gambar dokumenter, mendekati mereka tanpa izin, hingga menyebarkan stereotip yang salah kaprah.

Menjaga yang Tersisa

Kehidupan Suku Togutil adalah cermin dari kearifan lokal yang telah bertahan ratusan tahun. 

Di balik kesunyian hutan, mereka menyimpan kisah tentang cara hidup yang selaras dengan alam dan menghormati kehidupan dalam bentuk paling purba.

Mereka mungkin tak mengenal gawai atau listrik, tapi tahu betul cara menjaga air, hutan, dan makanan tanpa merusaknya.

Dalam dunia yang serba cepat dan sering melupakan akar, Suku Togutil mengajarkan kita satu hal penting: bahwa untuk bertahan, manusia tak harus menaklukkan alam, melainkan hidup di dalamnya.



(Artikel ini ditulis oleh Arina)
Paket Outbound Perusahaan di Batu Malang