Hidup di Awan: Cerita Perjalanan ke Desa Wae Rebo
Wayah Sinau - Ada tempat di Indonesia yang tak hanya jauh dari hiruk-pikuk kota, tapi juga seolah berdiri di antara awan. Namanya Wae Rebo, sebuah desa kecil yang tersembunyi di pegunungan bagian barat Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Bukan sekadar tempat, Wae Rebo adalah pengalaman—tentang waktu yang berjalan lambat, udara yang masih murni, dan manusia yang hidup dalam kedamaian dengan alam.
Menuju Tanah yang Terlupakan Waktu
Perjalanan ke Wae Rebo bukan untuk yang terburu-buru. Dari Ruteng, kota kecil di Manggarai, kendaraan melaju ke Desa Denge melewati jalan berliku dan tebing-tebing terjal. Tapi dari Denge, kendaraan tak bisa melaju lagi. Sisanya harus dilanjutkan dengan kaki. Jalur mendaki sekitar 6 kilometer itu menyambut dengan tanjakan panjang, akar-akar pepohonan, dan bisikan hutan. Hening, hanya suara langkah, napas, dan desiran angin yang terdengar.
Namun semua lelah itu terbayar lunas saat puncak terakhir dilewati. Di balik kabut yang menggantung rendah, tujuh rumah kerucut menjulang rapi di tengah padang rumput. Itulah Wae Rebo—desa yang sering disebut “negeri di atas awan”. Dan memang rasanya seperti itu. Seakan dunia lain sedang menunggu.
![]() |
Cerita desa Wae Rebo (Sumber: Indonesia kaya) |
Wae Rebo: Lebih dari Sekadar Desa
Wae Rebo bukan desa biasa. Di sini, waktu seolah berhenti. Rumah-rumah Mbaru Niang berdiri bukan hanya sebagai tempat tinggal, tapi sebagai simbol warisan budaya yang dijaga ketat oleh warganya. Desa ini dihuni hanya oleh beberapa puluh keluarga yang hidup dalam komunitas erat. Tak ada listrik penuh, tak ada sinyal. Yang ada hanya alam, kebersamaan, dan tradisi yang terus dilestarikan.
Setiap pengunjung yang datang tak bisa langsung masuk begitu saja. Harus mengikuti ritual penyambutan yang disebut Waelu. Di sinilah, para tetua adat akan ‘membuka pintu’ secara spiritual agar tamu dianggap sah untuk masuk dan bermalam. Ini bukan formalitas. Ini adalah wujud penghormatan terhadap leluhur dan alam sekitar.
Tinggal Sejenak, Belajar Banyak
Menginap semalam di Wae Rebo adalah pelajaran hidup. Saat malam turun, hanya cahaya pelita yang menerangi ruang. Di dapur, api menyala di tengah rumah, menjadi pusat kehangatan dan perbincangan. Di luar, kabut perlahan menutupi desa, dan langit gelap tanpa polusi memperlihatkan gugusan bintang yang jarang terlihat di kota.
Di pagi hari, aroma kopi segar menyambut. Warga menjemur hasil panen, anak-anak bermain bebas tanpa gadget, dan tawa-tawa terdengar bersahaja. Tak ada yang terburu-buru, tak ada ambisi yang menguasai. Semua berjalan dalam ritme yang natural.
Menutup Perjalanan, Membuka Makna
Wae Rebo tidak menawarkan kemewahan. Tapi justru di balik kesederhanaannya, ada kekayaan yang sulit ditemukan di tempat lain. Ini bukan sekadar perjalanan ke destinasi eksotis, melainkan perjalanan kembali ke diri sendiri—di mana alam, manusia, dan nilai-nilai hidup bisa kembali selaras.
Di Wae Rebo, kita belajar bahwa hidup tidak harus cepat, tidak harus bising, dan tidak harus mewah. Cukup sederhana, cukup dekat dengan alam, dan cukup hangat bersama sesama. Dan di situlah letak keindahan yang sesungguhnya.
(Artikel ini ditulis oleh Jenia)