Mengapa Gen Z Lebih Terbuka soal Generational Trauma?
![]() |
Orang Tua dan Anaknya (Sumber: Unsplash) |
Wayah Sinau - Generasi Z, yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012, dikenal sebagai generasi yang paling vokal soal kesehatan mental, termasuk membahas trauma lintas generasi atau generational trauma.
Di era digital dan keterbukaan informasi, mereka tak segan membongkar luka lama keluarga yang sebelumnya dianggap tabu.
Disini, kita mengulas mengapa Gen Z menjadi pelopor keterbukaan soal trauma psikologis antar generasi dan apa dampaknya bagi kesehatan mental kolektif.
Memahami Konsep Generational Trauma
Generational trauma adalah bentuk trauma psikologis yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Ini bisa bersumber dari pengalaman traumatis besar, seperti perang, kekerasan rumah tangga, kemiskinan ekstrem, atau pola pengasuhan yang represif.
Trauma ini seringkali tidak diatasi secara tuntas oleh generasi sebelumnya, lalu diteruskan dalam bentuk emosi, pola pikir, dan kebiasaan yang berdampak pada anak cucu mereka.
Menurut Health.com, trauma generasi bisa berdampak serius pada kesehatan mental dan fisik individu, meningkatkan risiko depresi, kecemasan, bahkan gangguan stres pascatrauma (PTSD).
Trauma ini juga bisa termanifestasi dalam pola asuh keras, budaya menyalahkan anak, atau penghindaran ekspresi emosi.
Faktor yang Membuat Gen Z Lebih Terbuka
1. Akses Informasi Tanpa Batas
Gen Z tumbuh bersama internet dan media sosial. Mereka bisa dengan mudah mengakses artikel, video, hingga pengalaman orang lain tentang kesehatan mental dan trauma keluarga.
Platform seperti TikTok, Instagram, hingga forum Reddit menyediakan ruang aman untuk berdiskusi dan berbagi pengalaman.
2. Budaya Anti-Stigma
Berbeda dengan generasi sebelumnya, Gen Z lebih menerima diskusi tentang emosi dan gangguan psikologis.
Mereka menciptakan budaya yang menormalisasi perasaan sedih, cemas, atau marah, dan tidak menganggapnya sebagai kelemahan.
Istilah seperti "healing," "inner child," dan "trauma bonding" bahkan telah menjadi bagian dari bahasa sehari-hari mereka.
3. Pendidikan dan Kesadaran Emosional
Banyak sekolah dan institusi kini mulai memasukkan pendidikan emosional ke dalam kurikulum.
Selain itu, media dan influencer juga turut mendorong diskusi terbuka tentang trauma dan pentingnya terapi.
Hal ini menumbuhkan kesadaran Gen Z bahwa mengenali luka batin adalah langkah penting menuju penyembuhan.

Orang Tua dan Anaknya (Sumber: Unsplash)
Dampak Positif dan Risiko yang Mengintai

Dampak Positif:
Memutus siklus trauma: Gen Z lebih sadar bahwa luka keluarga bukanlah sesuatu yang harus diwariskan.
Meningkatkan pencarian bantuan profesional: Mereka tidak malu untuk berkonsultasi dengan psikolog atau mengikuti terapi.
Membangun komunitas suportif: Komunitas daring seperti #traumatok di TikTok memungkinkan diskusi terbuka dan dukungan emosional.
Risiko:
Over-sharing di media sosial: Tidak semua pengalaman traumatis layak dibagikan di ruang publik karena bisa memicu trauma baru.
Salah diagnosis mandiri: Ada kecenderungan menyimpulkan gangguan mental tanpa evaluasi profesional.
Gen Z dan Harapan Baru
Gen Z menawarkan harapan baru dalam pendekatan terhadap trauma dan kesehatan mental.
Dengan keberanian mereka membuka luka masa lalu, mereka sedang membentuk ulang narasi keluarga dan budaya yang selama ini menormalisasi penderitaan.
Namun, dibutuhkan edukasi yang terus menerus dan dukungan yang memadai agar keterbukaan ini tidak menjadi bumerang, melainkan langkah nyata menuju generasi yang lebih sehat secara emosional.