Festival Bau Nyale: Tradisi yang Bukan Sekadar Wisata
![]() |
(Sumber: Kolom Desa) |
Wayah Sinau - Ribuan warga dan wisatawan tumpah ruah ke Pantai Seger, Lombok Tengah, dini hari.
Bukan sekadar liburan, mereka datang untuk menangkap nyale—cacing laut yang dipercaya sebagai jelmaan Putri Mandalika.
Festival tahunan ini bukan hanya soal hiburan, tetapi juga penghormatan terhadap warisan budaya.
Di Lombok, NTB, Setiap tahun, antara Februari hingga Maret, masyarakat Sasak di pesisir selatan Lombok menggelar Festival Bau Nyale, sebuah perayaan turun-temurun yang berakar dari legenda Putri Mandalika.
Festival ini menjadi momen sakral sekaligus atraksi budaya yang menyedot perhatian ribuan warga dan pelancong dari berbagai daerah.
Kata bau berarti "menangkap", sedangkan nyale merujuk pada jenis cacing laut yang muncul setahun sekali di Pantai Seger, Kuta Mandalika.
Puncak perayaan tahun ini berlangsung pada 9–10 Februari 2025, menyajikan rangkaian acara yang memadukan unsur adat, seni, dan wisata.
Mengenang Legenda Mandalika
Tradisi ini tak bisa dilepaskan dari cerita rakyat Sasak tentang Putri Mandalika, seorang putri cantik yang menjadi rebutan banyak pangeran.
Demi mencegah pertumpahan darah, sang putri memilih mengorbankan dirinya dengan terjun ke laut. Ia berjanji akan kembali dalam wujud nyale sebagai simbol persatuan.
Sejak saat itu, setiap kemunculan nyale di waktu tertentu dipercaya sebagai pertanda berkah.
Masyarakat memakannya langsung, menyimpannya sebagai pupuk, bahkan menjadikannya bahan ramuan kecantikan.

Festival Bau Nyale (Sumber: Kompas Regional)
Atraksi Budaya dan Pariwisata

Festival Bau Nyale telah berkembang menjadi ajang budaya sekaligus promosi wisata. Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC) dan Pemprov NTB rutin mendukung gelaran ini sebagai bagian dari kalender pariwisata nasional.
Kegiatan tahun ini mencakup pentas seni budaya, lomba peresean (pertarungan tradisional dengan rotan), dayung tradisional, festival kuliner, hingga konser musik.
Daya tarik wisatawan meningkat seiring pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika. Namun demikian, panitia menegaskan bahwa aspek adat tetap menjadi poros utama acara.
Antara Sakralitas dan Komersialisasi
Meski festival ini ramai dan sarat atraksi, sejumlah kalangan mengingatkan agar makna spiritual tidak tenggelam di tengah gegap gempita pariwisata.
Beberapa tokoh adat mengeluhkan dominasi acara hiburan yang kadang melupakan nilai luhur legenda Mandalika.
Pihak ITDC dan pemerintah daerah mengakui pentingnya menyeimbangkan nilai budaya dan ekonomi.
Dalam rilis resminya, ITDC menyatakan bahwa semua pelaksanaan acara dilakukan dengan konsultasi tokoh adat dan lembaga budaya.
Menjaga Janji Leluhur
Festival Bau Nyale bukan sekadar kemeriahan pantai atau destinasi selfie. Ia adalah warisan hidup yang menyatukan sejarah, spiritualitas, dan komunitas.
Di balik setiap nyale yang tertangkap, tersimpan pesan tentang cinta, pengorbanan, dan identitas budaya.
Maka dari itu, menjaga Bau Nyale berarti menjaga jati diri Lombok. Tradisi ini tak boleh hanya dilihat dari sisi komersial, melainkan dimaknai sebagai jembatan antara masa lalu dan masa depan.