Apa Itu Budaya Cancel Culture di Era Gen Z?
![]() |
Cancel Culture (Sumber: Unsplash) |
Fenomena Sosial Baru di Tengah Kecanggihan Digital
Wayah Sinau - Di era digital yang semakin maju, muncul fenomena sosial yang dikenal dengan istilah cancel culture, khususnya di kalangan Generasi Z atau Gen Z.
Budaya ini menjadi cara baru bagi generasi muda untuk menyuarakan ketidaksetujuan terhadap tindakan, perkataan, atau perilaku figur publik, brand, hingga institusi yang dianggap melanggar norma sosial dan etika.
Berbeda dengan generasi sebelumnya, Gen Z tumbuh bersama media sosial yang memberikan mereka kekuatan untuk menyebarkan pendapat dan membentuk opini publik dengan cepat dan masif.
Siapa Itu Gen Z dan Apa Ciri Khas Mereka?
Gen Z sendiri adalah kelompok yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012. Menurut data Pew Research Center dan Badan Pusat Statistik Indonesia, generasi ini sudah menjadi bagian besar dari populasi dan merupakan generasi paling akrab dengan teknologi digital.
Mereka dikenal melek teknologi sejak usia dini, vokal dalam menyuarakan isu sosial, dan memiliki kesadaran tinggi akan keadilan sosial, lingkungan, serta etika.
Karakteristik ini membuat Gen Z menjadi aktor utama dalam perkembangan budaya cancel culture di Indonesia maupun secara global.
Apa Itu Cancel Culture? Dari Mana Asalnya?
Cancel culture adalah praktik sosial yang mulai dikenal sejak awal 2010-an di Amerika Serikat.
Istilah ini merujuk pada aksi kolektif untuk menarik dukungan atau memboikot seseorang atau lembaga karena dianggap melakukan pelanggaran sosial atau moral.
Gerakan-gerakan seperti #MeToo yang menuntut keadilan bagi korban pelecehan seksual turut menguatkan budaya ini di media sosial.
Di Indonesia, cancel culture mulai ramai sejak 2019 ketika sejumlah kasus viral melibatkan selebriti, influencer, dan tokoh politik yang kemudian “dicancel” oleh publik maya.

Gen Z (Sumber: Unsplash)
Cancel Culture di Kalangan Gen Z: Antara Keadilan dan Pengadilan Publik

Dalam konteks Gen Z, cancel culture sering kali dianggap sebagai ekspresi moralitas mereka. Generasi ini cepat merespons isu seperti diskriminasi, kekerasan, rasisme, dan pelecehan seksual dengan menyuarakan protes secara terbuka di media sosial.
Contohnya adalah influencer yang kehilangan sponsor karena komentar kontroversial, brand yang diboikot karena dianggap tidak inklusif, dan tokoh publik yang dikritik habis-habisan atas pernyataan yang dianggap tidak sensitif terhadap isu gender, ras, atau agama.
Meski begitu, budaya ini juga mendapat kritik karena dianggap sebagai pengadilan massa yang tidak memberikan ruang untuk klarifikasi atau kesempatan kedua.
Dampak Cancel Culture: Positif dan Negatif
Dampak cancel culture bisa dilihat dari dua sisi. Dari sisi positif, budaya ini meningkatkan kesadaran kolektif terhadap isu-isu moral dan sosial, memaksa figur publik dan institusi bertanggung jawab, serta memberi ruang bagi kelompok marjinal untuk bersuara.
Namun, dampak negatifnya juga nyata, antara lain rentan disalahgunakan untuk menyebarkan informasi yang salah, menghilangkan kesempatan bagi pelaku untuk belajar dan berubah, serta menciptakan budaya takut berpendapat yang disebut chilling effect.
Survei Digital Civility Index 2023 menunjukkan Indonesia termasuk negara dengan tingkat toxic online yang tinggi, di mana cancel culture menjadi salah satu bentuk tekanan sosial yang dominan di kalangan warganet muda.
Menyikapi Cancel Culture dengan Bijak
Melihat fenomena ini, penting bagi masyarakat, terutama Gen Z, untuk menyikapi cancel culture dengan bijak.
Budaya ini sebaiknya digunakan sebagai alat untuk memperjuangkan keadilan sosial, bukan sebagai sarana membungkam tanpa ruang dialog.
Kesadaran akan pentingnya literasi informasi, fakta yang akurat, serta memberi kesempatan bagi perubahan sikap menjadi kunci agar budaya cancel culture bisa menjadi kekuatan positif, bukan destruktif.
Di dunia yang semakin kompleks dan terkoneksi, proses pembelajaran dan toleransi harus tetap dijaga agar tercipta ruang diskusi yang sehat dan konstruktif.