5 Suku Tersembunyi di Indonesia yang Masih Bertahan di Tengah Globalisasi
Wayah Sinau - Tak semua budaya ingin disorot kamera. Di pelosok hutan dan pegunungan Indonesia, masih ada suku-suku yang menolak dijamah zaman, apalagi disorot dunia digital.
Indonesia dikenal sebagai negara dengan lebih dari 1.300 kelompok etnis. Namun, tak semua suku di Nusantara akrab dengan kamera, internet, atau bahkan jalan raya.
Di tengah gempuran globalisasi dan modernisasi, beberapa komunitas adat memilih bertahan dalam kesunyian, menjaga warisan leluhur tanpa banyak sorotan publik.
Berikut lima suku paling tersembunyi di Indonesia yang masih hidup dalam ketenangan, jauh dari hiruk pikuk dunia modern.
1. Suku Korowai – Papua Selatan
Bayangkan hidup di rumah pohon setinggi 30 meter, tanpa listrik, tanpa sinyal, dan tanpa jalan aspal.
Itulah kehidupan Suku Korowai, masyarakat adat yang tinggal di pedalaman Papua Selatan.
Dikenal karena rumahnya yang berada di atas pohon, Suku Korowai baru “ditemukan” dunia luar pada tahun 1970-an. Mereka hidup dari hasil berburu dan meramu, serta mempercayai sistem kepercayaan animisme.
Meski beberapa kelompok mulai terbuka, sebagian besar Korowai masih menjaga jarak dari dunia luar.
2. Suku Togutil – Hutan Halmahera, Maluku Utara
Disebut juga “Orang Hutan”, Suku Togutil adalah kelompok masyarakat nomaden yang hidup di dalam rimba Halmahera.
Mereka menghindari kontak dengan dunia luar dan sering berpindah tempat, mengandalkan berburu dan mengumpulkan hasil hutan.
Beberapa laporan menyebutkan bahwa mereka merasa takut terhadap “orang bersepatu” — sebutan untuk orang luar.
Meskipun pemerintah telah berupaya memberikan layanan kesehatan dan pendidikan, sebagian Togutil menolak, karena menganggap dunia luar membawa penyakit dan kerusakan.
3. Suku Kajang Dalam – Sulawesi Selatan
Berpakaian serba hitam, menolak listrik, dan berjalan kaki tanpa alas. Itulah ciri khas Suku Kajang Dalam, komunitas adat di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan.
Mereka hidup dalam nilai Kamase-masea, yaitu kesederhanaan dan hidup selaras dengan alam.
Mereka percaya bahwa modernitas membawa kegaduhan dan kerusakan spiritual. Tak heran, mereka melarang wisatawan membawa kamera masuk ke wilayah adat mereka.
4. Suku Samin – Blora, Jawa Timur
Di tengah sawah dan hutan jati Blora, tinggal sekelompok masyarakat yang dikenal sebagai Suku Samin atau Sedulur Sikep.
Mereka menolak pencatatan kependudukan, pajak, bahkan kadang tak mau memakai KTP.
Ajaran Saminisme mengajarkan kesederhanaan, kejujuran, dan perlawanan pasif terhadap kekuasaan.
Meski hidup berdampingan dengan masyarakat umum, mereka tetap menjaga cara hidupnya, menjauh dari politik, dan tidak tergoda oleh gemerlap digital.
5. Suku Mante – Aceh
Misterius, sulit dibuktikan, tapi terus hidup dalam cerita rakyat. Suku Mante dipercaya tinggal di pedalaman Aceh, dan sering disebut sebagai “manusia mini” yang mampu berlari sangat cepat.
Video viral beberapa tahun lalu sempat mengklaim merekam mereka, tapi belum ada bukti ilmiah yang meyakinkan.
Keberadaan mereka masih menjadi perdebatan. Namun bagi warga Aceh, Suku Mante adalah bagian dari sejarah yang tak boleh dilupakan.
![]() |
Suku Samin (Sumber: Detikcom) |
Budaya yang Bertahan dalam Diam
Menurut salah satu peneliti antropologi dari Indonesia, kelompok-kelompok ini memilih isolasi bukan karena tidak mampu mengikuti zaman, melainkan karena mereka sadar apa yang ingin dipertahankan.
Ancaman terbesar bagi mereka bukan hanya globalisasi, tapi eksploitasi sumber daya, konflik lahan, dan pengabaian kebijakan pemerintah.
Bertahan Tanpa Sorotan
Di balik gemerlap media sosial dan parade budaya yang dipromosikan pemerintah, masih ada wajah Indonesia yang diam, tulus, dan tak ingin difoto.
Suku-suku tersembunyi ini mengajarkan kita arti kesederhanaan, keteguhan, dan keberanian untuk berbeda.
Mereka bukan objek wisata. Mereka adalah cermin dari keberagaman Indonesia yang otentik.
Mungkin sudah saatnya kita berhenti sekadar “memburu eksotisme”, dan mulai menghormati batasan mereka — bahkan jika itu berarti tidak membawa kamera.
(Artikel ini ditulis oleh Arina)