Misteri dan Megahnya Lawang Sewu: Benarkah Punya Seribu Pintu?
Kota Semarang, yang berjuluk Venesia dari Jawa, menyimpan permata arsitektur kolonial yang tidak lekang dimakan waktu: Lawang Sewu. Bangunan ikonik ini, yang berdiri kokoh di jantung kota, bukan sekadar gedung tua, melainkan saksi bisu perkembangan peradaban, kemakmuran kolonial, hingga pahitnya perjuangan kemerdekaan.
Lawang Sewu, sebuah nama yang langsung memicu rasa penasaran. Dalam bahasa Jawa, kata 'lawang' berarti pintu, dan 'sewu' berarti seribu. Lantas, apakah benar bangunan megah di Jalan Pemuda No. 160 ini benar-benar memiliki seribu pintu?
Mengupas Tuntas Julukan "Lawang Sewu"
Julukan yang legendaris ini ternyata menyimpan fakta yang menarik untuk diulik. Secara harfiah, Lawang Sewu memang tidak memiliki seribu pintu. Berdasarkan catatan resmi, jumlah pintu yang dimiliki oleh bangunan ini adalah 928 pintu. Angka ini hanya kurang sedikit dari seribu.
Namun, masyarakat setempat menjuluki bangunan ini 'Seribu Pintu' karena dua alasan utama. Pertama, kata 'sewu' pada zaman dahulu kerap digunakan sebagai idiom atau kata yang mewakili jumlah yang sangat banyak, bukan secara harfiah merujuk pada angka 1.000. Kedua, arsitektur Lawang Sewu memiliki banyak sekali jendela yang tinggi dan lebar khas bangunan Eropa. Masyarakat sering kali salah mengira jendela-jendela besar ini sebagai pintu, sehingga kesan "seribu pintu" semakin kuat tertanam. Julukan ini akhirnya melekat erat dan menjadi identitas abadi bangunan bersejarah tersebut.
Jejak Awal Lawang Sewu: Simbol Kemakmuran Belanda
Lawang Sewu berdiri di atas lahan seluas 18.232 meter persegi, menunjukkan skala kemegahan yang luar biasa pada masanya. Pembangunan Lawang Sewu bermula pada tahun 1900 dan rampung pada 1907. Bangunan ini mulanya berfungsi sebagai kantor pusat Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS), perusahaan kereta api swasta pertama di Hindia Belanda. Lawang Sewu menjadi pusat administrasi vital yang mengatur jalur-jalur kereta api di Jawa.
Arsitekturnya yang elegan dan megah, dirancang oleh arsitek-arsitek ternama Belanda, seperti Ir. P. de Rieu, Prof. J. Klinkhamer, B. J. Oundag, hingga Thomas Karsten, jelas menampilkan citra kekuasaan dan kemakmuran Belanda. Penggunaan material bangunan pun menjadi penanda kasta. Lawang Sewu dibangun menggunakan batu bata keramik berwarna oranye yang pada masa itu tergolong langka dan sangat mahal, melambangkan kekayaan, kemakmuran, dan kasta tertinggi para penguasa kolonial.
Desainnya yang dipenuhi pintu dan jendela tinggi tidak hanya untuk estetika, tetapi juga solusi cerdas terhadap iklim tropis. Banyaknya bukaan ini memastikan sirkulasi udara yang lancar, membuat ruangan tetap sejuk tanpa memerlukan pendingin udara. Ini adalah perpaduan sempurna antara kemewahan Eropa dengan adaptasi iklim lokal.
Berpindah Fungsi: Saksi Bisu Masa Kelam dan Perjuangan
Sejarah Lawang Sewu tidak berhenti pada era kemakmuran kolonial. Pada tahun 1942, setelah kolonial Belanda berakhir, Lawang Sewu diambil alih oleh Jepang dan diubah fungsinya menjadi markas tentara dan kantor transportasi Riyuku Sokyoku. Di masa inilah Lawang Sewu menjadi saksi bisu masa kelam. Ruang bawah tanahnya konon diubah menjadi penjara dan tempat penyiksaan.
Puncak dari peran historis Lawang Sewu terjadi saat peristiwa Pertempuran Lima Hari di Semarang pada tanggal 15 hingga 19 Oktober 1945. Bangunan ini menjadi titik strategis dan medan pertempuran antara para pemuda Indonesia yang tergabung dalam Angkatan Pemuda Kereta Api (AMKA) melawan tentara Jepang. Berdiri di seberang Kawasan Taman Tugu Muda, Lawang Sewu menjadi garis depan dalam upaya mempertahankan kemerdekaan dan aset negara dari tangan penjajah.
Transformasi Lawang Sewu Kini: Dari Mangkrak Menjadi Museum Ikonik
Setelah melewati masa-masa kelam dan mengalami masa terlantar pasca-kemerdekaan yang membuatnya mendapat reputasi angker, Lawang Sewu akhirnya diserahkan kepada PT Kereta Api Indonesia (Persero).
Tonggak sejarah baru dimulai pada tahun 2009 ketika PT KAI melakukan restorasi besar-besaran. Upaya pemugaran ini berhasil mengembalikan kemegahan arsitektur Lawang Sewu dan menghapus kesan mistis yang selama ini melekat. Pada 5 Juli 2011, Lawang Sewu diresmikan sebagai objek wisata sejarah dan museum perkeretaapian.
Saat ini, Lawang Sewu telah bertransformasi menjadi Museum Lawang Sewu yang memamerkan beragam koleksi bersejarah perkeretaapian Indonesia. Pengunjung dapat melihat seragam masinis kuno, alat komunikasi, lemari karcis, hingga mesin cetak tanggal karcis kereta api Edmonson. Dengan restorasi yang cermat, Lawang Sewu kini menjadi magnet wisata sejarah, budaya, dan arsitektur, menarik wisatawan domestik maupun mancanegara.
Sebagai salah satu destinasi wisata unggulan di Semarang, Lawang Sewu dibuka setiap hari untuk umum.
Informasi Kunjungan Lawang Sewu:
- Jam Buka: Setiap hari, pukul 08.00 hingga 16.00 WIB. (Perlu dicatat: Jam operasional wisata bisa berubah, sering kali buka hingga malam hari untuk sesi foto, namun jam museum umumnya berakhir pukul 16.00 WIB).
-
Harga Tiket Masuk:
- Dewasa: Rp 10.000
- Anak-anak: Rp 5.000
Lawang Sewu, dengan semua keindahan arsitektur dan kisah sejarahnya, telah membuktikan diri sebagai ikon abadi Kota Semarang. Mengunjunginya adalah cara terbaik untuk tidak hanya mengagumi seribu (atau 928) pintu, tetapi juga meresapi perjalanan panjang sejarah bangsa.
Referensi: Detik Com
Gambar: Google

